Di abad informasi, tidak ada yang lebih berpengaruh daripada televisi. Sejak Farm Sworth dari Amerika Serikat menemukan televisi pada 1927 dan mulai masuk ke Indonesia sesudah pertengahan abad ke-20, televisi menjadi media yang sangat berpengaruh bagi semua kalangan. Pengaruh televisi yang semakin hegemonik telah menjadi bagian dari dinamika kehidupan. Tak heran jika banyak pihak yang mengatakan bahwa hidup tanpa televisi ibarat hidup tanpa makan.
Begitu banyak masyarakat yang kontak dengan televisi setiap hari. Di ruang keluarga, kamar tidur, lobi hotel, bahkan di dalam kendaraan televisi bercokol. Program televisi yang dikemas sedemikian rupa, disajikan dengan format audio visual, mengkonstruksi pikiran publik secara tak sadar. Besarnya animo publik terhadap televisi membuat industri media bersaing merebut “kue” pemirsa dengan mata acara yang dianggap memiliki nilai lebih dibandingkan media lain. Begitu banyak tayangan menarik yang disajikan demi mengalihkan perhatian publik. Mulai dari berita, sinetron, kuis, infotainment, sampai realitas buatan yang disulap menjadi fakta objektif.
Yang menjadi persoalan, adalah televisi saat ini kurang berpihak pada kepentingan publik. Atas nama rating dan iklan, mayoritas stasiun TV menomorsekiankan aspek dampak negatifnya. Dan bisa ditebak akibatnya, masyarakat menjadi korban karena dibiarkan menyaring sendiri tayangan mana yang layak ditonton, dan mana yang tidak.
Banyak tayangan televisi yang tidak mempertimbangkan aspek psikologis. Kasus meninggalnya anak laki-laki akibat tayangan smack down akhir tahun 2005 silam menunjukkan betapa besar peran industri media dalam membentuk pola pikir dan perilaku anak-anak. Adopsi gaya hidup dan serapan nilai konsumerisme melalui televisi juga menjadi bagian dari realitas sosial yang amat memprihatinkan. Hal ini terbukti dengan semakin bergesernya nilai dan norma sosial pada diri anak-anak dan remaja.
Hal yang sama juga tejadi pada acara infotainment, yang sudah menjadi kebutuhan mayoritas masyarakat Indonesia, terutama di kalangan ibu-ibu rumah tangga serta remaja perempuan. Konstruksi pemirsa infotainment dibangun berdasarkan stereotipikasi terhadap sifat perempuan yang suka bergosip. Yang perlu kita garis bawahi lagi adalah acara tersbut begitu mendominasi. Mulai pagi buta, beberapa stasiun televisi sudah menghadirkan isu-isu hangat tentang para artis. Ini masih subuh, kalau rajin mengikuti, acara itu masih akan berlanjut hingga sore habis maghrib. Tentunya dengan format dan stasiun televisi yang berbeda.
Semenjak kemunculannya pada tahun 1994, kiprah tayangan infotainment memang bisa dibilang sangat luar biasa. Buktinya, stasiun televisi seakan berlomba menayangkan program acara yang menyajikan berita seputar selebritis ini. Bahkan menurut hasil survei Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Maret 2006 tayangan infotainment telah mengisi 63 persen tayangan televisi Indonesia. Woow, angka yang fantastis!
Untuk saat ini saja terdapat tak kurang dari 26 acara infotainment. Dalam sehari tersuguh 15 sampai 23 tayangan infotainment di sembilan stasiun televisi. Yang berarti dalam seminggu tidak kurang dari 150 tayanganyang disodorkan kepada pemirsa.
Lalu timbulah pertanyaan di benak kita; dengan porsi siaran sebesar itu, perlukah infotainment terus eksis?
Pertama, kita akui bersama bahwa yang namanya public figure itu adalah sorotan dan terkadang panutan. Masyarakat selalu menunggu kabar terbaru dari public figure favoritnya.
Sebenarnya yang namanya public figure atau selebritis tidak hanya artis, yang notabene berprofesi sebagai bintang film, sinetron, penyanyi, musisi, presenter kondang, dan laing sebagainya, tapi juga politikus, ustadz, olahragawan, dan lainnya. Meskipun begitu harus diakui masyarakat kita lebih tinggi untuk mengidolakan artis dibanding politikus dan lainnya. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya program infotainment.
Kedua, Indonesia mengusung kebebasan berpendapat dan termasuk kebebasan pers. Inilah yang menyebabkan infotainment berkembang dan bahkan telah menjamur di Indonesia.
Pemirsa kita disuguhi tayangan-tayangan rahasia pribadi para selebriti kita, mulai dari gaya hedonisme mereka, cara pacaran mereka, pernikahan terselubung mereka, perselingkuhan mereka, pisah ranjang mereka, perceraian mereka, hingga kemampuan seks mereka. Semuanya dijadikan tontotan. Wooow sampai sejauh itu ya?. Lebih mengherankan lagi, kenapa yang lebih banyak disorot bukan bagaimana perjuangan si artis sehingga menjadi artis besar, apa kiat-kiatnya, bagaimana dia berjuang, kemudian mengajak orang lain agar bisa semaju seperti dia. Dan kenapa mayoritas penyaji infotainment kita tidak berpikir positif terhadap kebahagiaan dan kesuksesan orang lain? Apakah hal seperti ini tidak menarik jadi berita? Dan entah disadari atau tidak oleh para pemilik media, sebagian para penontonnya, adalah remaja-remaja putri, anak-anak di bawah umur, yang belum tentu punya daya saring yang baik.
Melihat berita-berita yang ditayangkan itulah, yang kebanyakan adalah menyangkut hal-hal pribadi dan tidak seyogyanya untuk diekspos ke publik. Maka tidaklah heran, apabila hasil keputusan Munas Alim Ulama NU yang salah satunya fatwa melarang warganya untuk menonton infotainment. Walau masih pro-kontra di kalangan masyarakat, setidaknya fatwa ulama NU tersbut diharapkan bisa mengerem dampak keburukan dari tayangan infotainment tersebut. Di sini, para ulama itu melihat bahwa infotainment saat ini sudah mendekati ghibah alias pergunjingan, sedang agama Islam jelas melarangnya. Bagaimana mungkin berita tidak jelas bisa diberitakan?
Sekali lagi, yang paling fenomenal yang tak sempat terpikirkan oleh mungkin siapapun juga, adalah pengaruh infotainment itu terhadap perilaku generasi penerus bangsa, yang memang menjadi sasaran infotainment. Anak-anak sekarang, seperti yang dilansir Harian Kompas Edisi 26 Januari 2006 silam, “anak-anak kecil sudah terbiasa dengan kata-kata, seperti “kutukan”, “anak durhaka”, “nikah siri”, “selingkuh”, “istri simpanan” suatu bahasa yang sebenarnya tidak layak untuk mereka ucapkan”.
Ini artinya, infotainment yang begitu dibanggakan para pemilik stasiun televisi, telah menjadi virus baru dalam kebudayaan populer indonesia. Jadi secara pribadi, ini bukanlah tontonan rakyat, tapi merupakan suatu infiltrasi budaya, - entah itu disengaja atau tidak - yang mengatasnamakan dirinya jurnalisme informasi dan hiburan.
Melalui infotainment, masyarakat dapat merasa dekat dengan selebriti yang gaya hidupnya jauh di awang-awang, berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Jarak yang jauh itu terjembatani oleh media massa. Masyarakat dapat merasakan seolah-olah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para selebriti.
Selanjutnya mereka mengembangkan sikap-sikap tertentu, suka atau tidak, kepada tokoh yang ditampilkan seperti mereka berkomentar terhadap orang-orang yang dikenalnya. Lebih jauh lagi, gaya hidup para selebriti pun akhirnya diadopsi menjadi gaya hidup anggota masyarakat lainnya.
Namun, dalam hal ini penting untuk tetap membedakan antara impian dan kenyataan. Bagaimanapun, kita harus berpijak pada kenyataan: menerima diri apa adanya dan mengembangkan gaya hidup sesuai kemampuan sembari terus berusaha meraih apa yang diimpikan.
Perkembangan tidak sehat terjadi bila seseorang tidak bisa lagi membedakan antara impian dan kenyataan. Sebagai orang biasa yang tidak populer, ia merasa diri populer, mengharapkan perlakuan istimewa dari orang lain, bila perlu dengan "menuntut" dan “menabrak” etika.
Mimpi yang belum menjadi kenyataan, ada kalanya membuat seseorang frustrasi dan mulai menyalahkan orang lain. Dalam situasi ini orang terjebak ke dalam dunia subjektif: tidak mampu lagi merefleksikan berbagai situasi secara objektif; ego berfungsi kelewat ekstrem dalam mengejar kepuasan atas berbagai dorongan dari alam bawah sadar.
Dampak lainnya adalah sedikit demi sedikit masyarakat kita akan suka mencari-cari kejelekan orang lain dan mengunjingkannya. Orang cenderung lebih senang melihat kejelekan dan penderitaan orang lain dan tidak suka terhadap kesuksesan orang lain.
Dan kalau sikap bermasyarakat kita menjadi sedemikian bobroknya karena terbiasa dicekoki tayangan-tayangan seperti itu sehingga orang cenderung kurang menghargai kerja keras, akan tetapi malah timbul rasa iri dan dengki. Siapa yang akan bertanggung jawab?
Sumber : Nadhirin Blog
receive a message looking for upload and sharing
Upload
Labels
- Antariksa (1)
- Artikel Blogging (8)
- Artikel dan Tutorial (14)
- Artikel Kepribadian (1)
- Artikel Kesehatan (4)
- Artikel Keuangan (1)
- Artikel Management (2)
- Artikel Motivasi (4)
- Artikel Renungan (5)
- Artikel SEO (4)
- Berita Aneh (13)
- Berita Penemuan (6)
- Biografi (3)
- Info Komputer (4)
- Informasi (19)
- Kesehatan (6)
- Makhluk Asing (5)
- Misteri (10)
- News (16)
- Paleontologi (1)
- Template Wordpress (2)
- Templates 3 Collums (1)
- Tips (35)
- Tips Blogger (6)
- Tips Blogging (20)
- Tips dan Trik (21)
- Tips Game (2)
- Tips Hidup (1)
- Tips Kesehatan (7)
- Tips Komputer (8)
- Tips Laptop (4)
- Tips OS (1)
- Tips RF Online (2)
- Tips Umum (8)
- Tips Wordpress (3)
- Trailer Film (1)
Download

Blog Archive
Blog
Blog Roll
Die' Best Tips
Followers
skip to main |
skip to sidebar
Suara tangis anak kecil terdengar begitu jelas dari sebuah rumah tua. Berkali-kali anak kecil itu menangis, kemudian diam dan menangis lagi. Ibunya mencoba mendiamkan dengan berkata: “Sabar ya nak, sebentar lagi… sekarang tidur dulu ya!” Kata-kata itu berkali-kali diucapkan sang ibu ketika anaknya terbangun dan menangis. Tiba-tiba dari luar terdengar seseorang mengetuk pintu dan memberi salam. Sang Ibu menjawab salam dan membuka pintu, tampak berdiri di depan pintu seorang laki-laki memikul satu karung gandum yang kemudian diletakkan di depan sang Ibu. Laki-laki itu berkata: “ini ada sedikit gandum, masakkan untuk anakmu! Kemudian laki-laki itu pergi, hilang di tengah kegelapan. Rupanya laki-laki itu sudah lama memperhatikan apa yang terjadi di rumah itu. Dia juga melihat bagaimana sang Ibu tadi memasak beberapa bongkah batu untuk membuat anaknya tenang dan tertidur.
Inilah sosok Umar bin Khaththab r.a., pemimpin yang telah diakui kehebatannya. Umar bin Khaththab dikenal sebagai orang yang cerdas, keras dan tegas. Islam mencapai kemajuan yang pesat di bawah kepemimpinannya, beliau memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Pembentukan Baitul Mal adalah inisiatif dari beliau.
Ramadhan adalah momen yang tepat untuk memupuk potensi kepekaan manusiawi kita, yang mungkin telah terkubur selama sebelas bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun. Pada dasarnya semua manusia mempunyai potensi di untuk bersifat dengan sifat-sifat yang baik (asma’ul husna). Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) (QS. Al-A’raf [7]: 172).
Potensi ketuhanan telah tertanam dalam setiap diri manusia, sekalipun ia adalah seorang atheis. Oleh karena itu di dalam jiwa setiap manusia pada hakikatnya terdapat cahaya dari 99 sifat yang dimiliki oleh Allah SWT. maka pantaslah, ketika para sahabat betanya kepada Aisyah, bagaimanakah akhlak Rasulullah, Aisyah menjawab, “akhlak beliau adalah Alqur’an”.
Ar-Rahman dan ar-Rahim (Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang) adalah sifat Allah. Kedua sifat ini juga diberikan kepada manusia, walaupun sering dilupakan oleh manusia sendiri. Sifat-sifat yang lain seperti ar-Raziq (dermawan) dan al-‘Adil (adil) juga dimiliki oleh manusia, tetapi mengapa sifat-sifat itu tidak muncul?
Di dalam jiwa manusia terdapat belenggu-belenggu yang menyebabkan sifat-sifat baik tersebut (suara hati) sulit dikeluarkan. Di antara yang menjadi belenggu tersebut adalah apa yang dibaca, prasangka negatif, prinsip hidup, pengalaman, kepentingan, sudut pandang dan pembanding (Ary Ginanjar Agustiar, 2005). Untuk mengeluarkan sifat-sifat baik tersebut, semua yang menjadi belenggu tersebut harus dihilangkan.
Ketika kita berhenti di lampu merah, sering kita melihat anak-anak kecil yang mengamen dan berlarian menghampiri kita, mengharap belas kasihan kita sambil menyanyikan sebuah lagu. Apabila kita berprasangka positif, kita akan mudah saja memberikan anak itu sejumlah uang. Tetapi apabila kita berprasangka negatif, “untuk apa kita berikan, mungkin hanya akan digunakan untuk main-main, hura-hura dan sebagainya”. Lalu ia membenarkan prasangka-prasangka negatif tersebut, maka mereka pun tidak akan memberi. Ia tidak menyadari bahwa itulah belenggu yang merupakan penyakit dalam jiwanya. Akibatnya sifat dermawan yang dimiliki tertutupi. Begitu juga dengan faktor yang lain, tanpa disadari ia akan menjadi penyakit hati. "Kemudian hati mereka menjadi keras bagaikan batu, bahkan lebih keras". (QS. Al-Baqarah [2]: 74).
Berpuasa bukan sekedar menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri di sing hari, tetapi lebih dari itu, puasa harus mampu melatih kepekaan kita terhadap kesulitan orang lain. Ketika kita terbiasa mendapatkan kenikmatan dan kesenangan, biasanya kita akan mampu merasakan kesulitan orang lain. Di Bulan Ramadhan kita sanggup berpuasa, menahan diri dari makan, dan minum yang mungkin kita tidak sanggup menahannya di bulan-bulan yang lain. Mengapa kita mampu melakukannya? itu disebabkan karena kita mempunyai potensi untuk itu. Oleh karena itu di bulan Ramadhan ini kita harus berusaha dengan segenap tenaga untuk mengeluarkan semua potensi yang ada dalam diri kita masing-masing, bebaskan jiwa dari belenggu-belenggu yang negatif.
Lapar dapat melatih kita untuk merasakan bagaimana pedihnya para fakir miskin yang kelaparan, bahkan kadang-kadang berhari-hari mereka tidak makan. Selaian berpuasa kita juga harus membiasakan diri untuk hidup bersama orang-orang yang sedang dalam kesulitan atau sedang ditimpa musibah, bergaul dengan orang miskin, sehingga kita juga merasakan bagaimana sulitnya hidup mereka, dengan demikian hidup kita akan lebih mempunyai makna, bukan sekadar untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang lain.
Oleh karena itu, peluang yang diberikan oleh Allah SWT di bulan ini harus dapat kita gunakan sebaik-baiknya. Karena tidak semua orang diberi kesempatan dua kali. Mungkin kita termasuk orang-orang yang beruntung diberi kesempatan untuk kembali memperbaiki bekal kita kembali ke hadhirat-Nya. Amalan-amalan ritual peribadatan harus kita iringi dengan amalan sosial, terutama bersedekah. Ia, selain merupakan amalan yang sangat disukai oleh Rasulullah SAW di bulan Ramadhan, juga merupakan suatu bentuk kepedulian kita sebagai umat Islam terhadap sesama. Rasul SAW bersabda sebaik-baik sedekah adalah sedekah pada bulan Ramadhan (HR. Al-Baihaqi, Al-Khatib dan Turmudzi). Pada dasarnya Islam mengajarkan bagaimana kita selalu peka terhadap penderitaan orang lain melalui amalan sedekah.
Mulailah memberi sedikit makanan berbuka untuk tetanggga, memberi makan anak yatim, membantu fakir miskin, dan membantu siapapun tanpa pandang bulu dengan ikhlas, ringan, dan tanpa ada sedikitpun rasa keberatan. Insya Allah, dengan begitu, hati kita akan selalu terbuka dan peka terhadap penderitaan orang lain, siapapun dia. Bukan hanya pada bulan ini, akan tetapi juga pada sebelas bulan lainnya. Semoga bulan Ramadhan ini menjadi bulan berkah dan maghfirah serta membawa hidayah bagi kita semua. Amin.
Sumber : Nadhirin Blog
Tampilkan postingan dengan label Artikel Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Renungan. Tampilkan semua postingan
Minggu, 29 Maret 2009
Makna Kemerdekaan dalam Alquran
KEMERDEKAAN memiliki beragam makna. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dibacakan Soekarno tidak secara eksplisit menerangkan apa makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Ketika Soekarno menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, tentu yang dimaksudnya adalah kemerdekaan dari penjajahan Jepang.
Tetapi apa makna kemerdekaan itu bagi rakyat Indonesia merupakan tugas para generasi setelahnya untuk menjawabnya. Karena itu, dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa kemerdekaan adalah pintu gerbang menuju cita-cita kebangsaan dan keindonesiaan yang sejati.
Apa makna kemerdekaan bagi kita? Sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia, umat Islam dapat mengambil makna kemerdekaan tersebut dari Alquran. Dalam kitab suci ini ditunjukkan berbagai kisah kemerdekaan orang-orang terdahulu yang dapat mengilhami kita, bagaimana seharusnya menjadi bangsa merdeka di era globalisasi.
Pertama, makna kemerdekaan dapat diambil dari kisah Nabi Ibrahim ketika ia membebaskan dirinya dari orientasi asasi yang keliru dalam kehidupan manusia. Dalam Surat Al-An’am Ayat 76-79 dikisahkan perjalanan spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan.
Pencarian spiritual tersebut merupakan upaya Ibrahim dalam membebaskan hidupnya dari orientasi hidup yang diyakininya keliru, namun hidup subur dalam masyarakatnya.
Seperti diketahui, masyarakat Ibrahim saat itu menyembah berhala. Bagi Ibrahim, penyembahan terhadap berhala merupakan kesalahan besar. Sebab manusia telah melakukan penghambaan yang justru menjatuhkan harkat dan martabat dirinya sebagai manusia.
Bentuk penghambaan yang menjatuhkan harkat-martabat manusia seperti itu juga terjadi pada era modern. Penghambaan terhadap materialisme dan hedonisme telah mengantarkan manusia modern untuk melakukan korupsi tanpa perasaan bersalah, mengorbankan nyawa-nyawa tak berdosa, menghalalkan berbagai cara untuk meraih kursi dan posisi, dan seterusnya.
Penghambaan-penghambaan yang demikian bukan hanya melukai harkat-martabat manusia, namun juga menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang hakikatnya menjadi tujuan dari proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 63 tahun yang lalu.
Kedua, makna kemerdekaan juga dapat dipetik dari kisah Nabi Musa ketika membebaskan bangsanya dari penindasan Firaun. Kekejaman rezim Firaun terhadap bangsa Israel dikisahkan dalam berbagai ayat Alquran. Rezim Firaun merupakan representasi komunitas yang menyombongkan diri dan sok berkuasa di muka bumi (mustakbirun fi al-ardh).
Keangkuhan rezim penguasa ini membuat mereka tak segan membunuh dan memperbudak kaum laki-laki bangsa Israel dan menistakan kaum perempuannya. Keangkuhan inilah yang mendorong Musa tergerak memimpin bangsanya untuk membebaskan diri dari penindasan, dan akhirnya meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang mulia dan bermartabat (QS Al-A’raaf:127, Al-Baqarah:49, dan Ibrahim:6).
Mengakhiri Keangkuhan
Seperti halnya kisah sukses Nabi Musa, Proklamasi 17 Agustus 1945 hakikatnya juga merupakan momen yang mengakhiri episode keangkuhan dan penindasan rezim kolonial. Sebuah keangkuhan yang membuat bangsa kita miskin dan terhina selama ratusan tahun.
Namun jangan lupa, berakhirnya keangkuhan dan penindasan rezim kolonial tidak serta merta membebaskan rakyat Indonesia dari keangkuhan dan penindasan rezim lain dalam bentuk yang berbeda.
Tugas terberat dari sebuah bangsa merdeka sesungguhnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan dirinya sebagai bangsa merdeka, serta bebas dari hegemoni internal dan eksternal yang menindas. Merdeka dari hegemoni penindasan internal berarti bebas dari penguasa-penguasa pribumi yang bertindak dan bertingkah laku laksana penjajah asing.
Kita memerlukan pemerintahan yang sayang dan cinta kepada rakyatnya sendiri. Tidak hanya cinta sebatas bibir, namun juga mencintai dan mengayomi dalam bentuk dan tindakan nyata.
Merdeka dari hegemoni eksternal artinya bebas dari pengaruh dan tekanan asing (terutama di bidang politik, ekonomi, dan budaya). Bangsa yang merdeka, namun di bawah tekanan politik negara lain, sesungguhnya bukan bangsa yang merdeka. Bangsa yang merdeka, tapi menyerahkan pengelolaan sumber daya alamnya kepada pihak asing tanpa share yang adil, bukan pula bangsa yang merdeka.
Bangsa yang merdeka, namun sangat inferior terhadap identitas budaya bangsa lain, bukan pula bangsa yang merdeka. Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia haruslah kemerdekaan yang holistik dan integral dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, kisah sukses Nabi Muhammad dalam mengemban misi profetiknya di muka bumi (QS Al-Maa’idah:3) menjadi sumber ilham yang tak pernah habis bagi bangsa Indonesia untuk memaknai kemerdekaan secara lebih holistik dan integral.
Ketika diutus 14 abad silam, Nabi Muhammad menghadapi sebuah masyarakat yang mengalami tiga penjajahan sekaligus: disorientasi hidup, penindasan ekonomi, dan kezaliman sosial.
Disorientasi hidup diekspresikan dalam penyembahan patung oleh masyarakat Arab Quraisy. Rasulullah berjuang keras mengajarkan kepada umat manusia untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan ‘’tuhan-tuhan’’ yang menurunkan harkat dan derajat manusia (QS Luqman:13; Yusuf:108; Adz-Dzaariyaat:56; Al-Jumu’ah:2).
Penindasan ekonomi itu dilukiskan Alquran sebagai sesuatu yang membuat kekayaan hanya berputar pada kelompok-kelompok tertentu saja (QS Al-Hasyr:7). Rasulullah mengkritik orang-orang yang mengumpulkan dan menghitung-hitung harta tanpa memedulikan kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi (QS Al-Humazah:1-4; Al-Maa’uun:2-3).
Rasulullah mengkampanyekan pembebasan budak, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan kesederajatan bangsa-bangsa. Dalam khutbah terakhirnya di Arafah, saat haji wadaí, beliau menegaskan bahwa tak ada perbedaan antara hitam dan putih, antara Arab dan non-Arab.
Semuanya sama di mata Tuhan. Tidak ada celah yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya, kecuali tingkat ketakwaan mereka kepada Tuhan-Nya (QS Al-Hujuraat:13).
Apa makna kemerdekaan bagi kita? Sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia, umat Islam dapat mengambil makna kemerdekaan tersebut dari Alquran.
Alangkah indahnya jika bangsa Indonesia mampu memaknai kemerdekaannya seperti yang diilhamkan Alquran. Rakyat merasakan kemerdekaan ekonominya dan meraih kesejahteraan bersama. Tidak ada lagi penghisapan ekonomi, baik oleh oknum pribumi maupun pihak asing.
Seluruh warganegara Indonesia sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Tidak ada lagi tawar menawar hukum dan perlakuan istimewa bagi kaum berduit dalam proses peradilan. Bagi kelompok difabel, tak ada lagi perbedaan untuk memeroleh akses ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan.
Kemerdekaan tidak hanya dirasakan oleh manusia-manusia Indonesia di Jawa, namun juga manusia-manusia Indonesia di Aceh, pedalaman Irian Jaya, serta pulau-pulau terpencil. Manusia Indonesia di wilayah-wilayah ini harus dapat merasakan kemerdekaan yang ikhlas dan sejati, bukan kemerdekaan yang terpaksa dan semu, seperti yang mungkin mereka rasakan pada zaman Orde Baru. Dirgahayu Republik Indonesia!
– Dani Muhtada, dosen Universitas Muhammadiyah Magelang, alumnus Flinders University of South Australia. (dalam Suara Merdeka edisi 15 Agustus 2008)
Sumber : Nadhirin Blog
Tetapi apa makna kemerdekaan itu bagi rakyat Indonesia merupakan tugas para generasi setelahnya untuk menjawabnya. Karena itu, dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa kemerdekaan adalah pintu gerbang menuju cita-cita kebangsaan dan keindonesiaan yang sejati.
Apa makna kemerdekaan bagi kita? Sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia, umat Islam dapat mengambil makna kemerdekaan tersebut dari Alquran. Dalam kitab suci ini ditunjukkan berbagai kisah kemerdekaan orang-orang terdahulu yang dapat mengilhami kita, bagaimana seharusnya menjadi bangsa merdeka di era globalisasi.
Pertama, makna kemerdekaan dapat diambil dari kisah Nabi Ibrahim ketika ia membebaskan dirinya dari orientasi asasi yang keliru dalam kehidupan manusia. Dalam Surat Al-An’am Ayat 76-79 dikisahkan perjalanan spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan.
Pencarian spiritual tersebut merupakan upaya Ibrahim dalam membebaskan hidupnya dari orientasi hidup yang diyakininya keliru, namun hidup subur dalam masyarakatnya.
Seperti diketahui, masyarakat Ibrahim saat itu menyembah berhala. Bagi Ibrahim, penyembahan terhadap berhala merupakan kesalahan besar. Sebab manusia telah melakukan penghambaan yang justru menjatuhkan harkat dan martabat dirinya sebagai manusia.
Bentuk penghambaan yang menjatuhkan harkat-martabat manusia seperti itu juga terjadi pada era modern. Penghambaan terhadap materialisme dan hedonisme telah mengantarkan manusia modern untuk melakukan korupsi tanpa perasaan bersalah, mengorbankan nyawa-nyawa tak berdosa, menghalalkan berbagai cara untuk meraih kursi dan posisi, dan seterusnya.
Penghambaan-penghambaan yang demikian bukan hanya melukai harkat-martabat manusia, namun juga menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang hakikatnya menjadi tujuan dari proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 63 tahun yang lalu.
Kedua, makna kemerdekaan juga dapat dipetik dari kisah Nabi Musa ketika membebaskan bangsanya dari penindasan Firaun. Kekejaman rezim Firaun terhadap bangsa Israel dikisahkan dalam berbagai ayat Alquran. Rezim Firaun merupakan representasi komunitas yang menyombongkan diri dan sok berkuasa di muka bumi (mustakbirun fi al-ardh).
Keangkuhan rezim penguasa ini membuat mereka tak segan membunuh dan memperbudak kaum laki-laki bangsa Israel dan menistakan kaum perempuannya. Keangkuhan inilah yang mendorong Musa tergerak memimpin bangsanya untuk membebaskan diri dari penindasan, dan akhirnya meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang mulia dan bermartabat (QS Al-A’raaf:127, Al-Baqarah:49, dan Ibrahim:6).
Mengakhiri Keangkuhan
Seperti halnya kisah sukses Nabi Musa, Proklamasi 17 Agustus 1945 hakikatnya juga merupakan momen yang mengakhiri episode keangkuhan dan penindasan rezim kolonial. Sebuah keangkuhan yang membuat bangsa kita miskin dan terhina selama ratusan tahun.
Namun jangan lupa, berakhirnya keangkuhan dan penindasan rezim kolonial tidak serta merta membebaskan rakyat Indonesia dari keangkuhan dan penindasan rezim lain dalam bentuk yang berbeda.
Tugas terberat dari sebuah bangsa merdeka sesungguhnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan dirinya sebagai bangsa merdeka, serta bebas dari hegemoni internal dan eksternal yang menindas. Merdeka dari hegemoni penindasan internal berarti bebas dari penguasa-penguasa pribumi yang bertindak dan bertingkah laku laksana penjajah asing.
Kita memerlukan pemerintahan yang sayang dan cinta kepada rakyatnya sendiri. Tidak hanya cinta sebatas bibir, namun juga mencintai dan mengayomi dalam bentuk dan tindakan nyata.
Merdeka dari hegemoni eksternal artinya bebas dari pengaruh dan tekanan asing (terutama di bidang politik, ekonomi, dan budaya). Bangsa yang merdeka, namun di bawah tekanan politik negara lain, sesungguhnya bukan bangsa yang merdeka. Bangsa yang merdeka, tapi menyerahkan pengelolaan sumber daya alamnya kepada pihak asing tanpa share yang adil, bukan pula bangsa yang merdeka.
Bangsa yang merdeka, namun sangat inferior terhadap identitas budaya bangsa lain, bukan pula bangsa yang merdeka. Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia haruslah kemerdekaan yang holistik dan integral dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, kisah sukses Nabi Muhammad dalam mengemban misi profetiknya di muka bumi (QS Al-Maa’idah:3) menjadi sumber ilham yang tak pernah habis bagi bangsa Indonesia untuk memaknai kemerdekaan secara lebih holistik dan integral.
Ketika diutus 14 abad silam, Nabi Muhammad menghadapi sebuah masyarakat yang mengalami tiga penjajahan sekaligus: disorientasi hidup, penindasan ekonomi, dan kezaliman sosial.
Disorientasi hidup diekspresikan dalam penyembahan patung oleh masyarakat Arab Quraisy. Rasulullah berjuang keras mengajarkan kepada umat manusia untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan ‘’tuhan-tuhan’’ yang menurunkan harkat dan derajat manusia (QS Luqman:13; Yusuf:108; Adz-Dzaariyaat:56; Al-Jumu’ah:2).
Penindasan ekonomi itu dilukiskan Alquran sebagai sesuatu yang membuat kekayaan hanya berputar pada kelompok-kelompok tertentu saja (QS Al-Hasyr:7). Rasulullah mengkritik orang-orang yang mengumpulkan dan menghitung-hitung harta tanpa memedulikan kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi (QS Al-Humazah:1-4; Al-Maa’uun:2-3).
Rasulullah mengkampanyekan pembebasan budak, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan kesederajatan bangsa-bangsa. Dalam khutbah terakhirnya di Arafah, saat haji wadaí, beliau menegaskan bahwa tak ada perbedaan antara hitam dan putih, antara Arab dan non-Arab.
Semuanya sama di mata Tuhan. Tidak ada celah yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya, kecuali tingkat ketakwaan mereka kepada Tuhan-Nya (QS Al-Hujuraat:13).
Apa makna kemerdekaan bagi kita? Sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia, umat Islam dapat mengambil makna kemerdekaan tersebut dari Alquran.
Alangkah indahnya jika bangsa Indonesia mampu memaknai kemerdekaannya seperti yang diilhamkan Alquran. Rakyat merasakan kemerdekaan ekonominya dan meraih kesejahteraan bersama. Tidak ada lagi penghisapan ekonomi, baik oleh oknum pribumi maupun pihak asing.
Seluruh warganegara Indonesia sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Tidak ada lagi tawar menawar hukum dan perlakuan istimewa bagi kaum berduit dalam proses peradilan. Bagi kelompok difabel, tak ada lagi perbedaan untuk memeroleh akses ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan.
Kemerdekaan tidak hanya dirasakan oleh manusia-manusia Indonesia di Jawa, namun juga manusia-manusia Indonesia di Aceh, pedalaman Irian Jaya, serta pulau-pulau terpencil. Manusia Indonesia di wilayah-wilayah ini harus dapat merasakan kemerdekaan yang ikhlas dan sejati, bukan kemerdekaan yang terpaksa dan semu, seperti yang mungkin mereka rasakan pada zaman Orde Baru. Dirgahayu Republik Indonesia!
– Dani Muhtada, dosen Universitas Muhammadiyah Magelang, alumnus Flinders University of South Australia. (dalam Suara Merdeka edisi 15 Agustus 2008)
Sumber : Nadhirin Blog
Menyoal Komersialisasi Pendidikan
Memasuki tahun 2008 adalah saat istimewa seiring rangkaian sejarah bangsa Indonesia. Setidaknya pada bulan Mei tahun ini kita telah memeringati dua momen besar yaitu 111 tahun Hari Pendidikan Nasional (2 Mei 1889 – 2 Mei 2008) dan 100 tahun kebangkitan Nasional (20 Mei 1908 – 20 Mei 2008). Keduanya merupakan tonggak utama penyokong berdirinya Negara – bangsa Indonesia (Nation state of Indonesia). Pendidikan memerdekakan nalar pikir anak bangsa, sementara kebangkitan nasional memerdekakan jiwa raga dari belenggu penjajahan.
Perayaan tentu tak etis hanya berakhir dengan perayaan itu sendiri yang seringkali menyisakan romantisme semu serta pesta pora tanpa kesadaran. Masuk bulan ketiga tahun ini penulis berkesempatan mengunjungi kota Batam. Ketika berkesempatan berkeliling kota, urat geli penulis sempat tergelitik oleh papan iklan sebuah sekolah. Papan iklan itu terang – terangan menuliskan bahwa ada diskon 0% untuk masuk sekolah “A” pada periode tertentu, lewat dari tanggal tersebut berarti tidak ada diskon. Sang model dalam billboard besar itu menurut hemat penulis lebih mirip seorang bankir, pengusaha atau bisnisman dari pada pembawaan seorang pendidik. Dengan stelan jas necis serta senyuman ala salesman, penulis jadi berpikir iklan ini sedang menawarkan pendidikan atau jasa pendidikan?
Jika Ki Hajar Dewantara masih hidup atau guru Umar Bakri itu sungguh nyata adanya, tentu mereka tidak akan tinggal diam menghadapi fenomena bisnis pendidikan ini. Setidaknya bukan keadaan ini yang beliau kehendaki. Khusus Ki Hajar Dewantara –pendidik dan pejuang bangsa – seorang yang menyadari pentingnya investasi sumber daya manusia melalui pendidikan. Indonesia sebagai negara yang mencantumkan cita – cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam pembukaan undang – undang dasar, sudah selayaknya menjadikan pendidikan sebagai prioritas dalam membangun bangsa.
Selama hampir 63 tahun merdeka, bangsa kita justru seolah kehilangan jati diri. Sekolah – sekolah merasa hebat jika bertarif mahal dan berstandar internasional bahkan guru pun harus impor dari negri sebrang. Bahasa Indonesia tidak lagi menjadi bahasa pengantar dan pemersatu di sekolah. Jika begini keadaannya lalu dimana tempat untuk Indonesia: tanah air, bangsa dan bahasa seperti yang dikumandangkan para pemuda pada tahun 1928? Apakah cukup kata Indonesia dalam peta dunia, sedangkan Nusantara tak lagi dipenuhi “jiwa” Indonesia?
Sekolah seperti yang ditulis Louis Althusser merupakan salah satu Idiological State Apparatus dimana negara bisa “memaksakan” idiologi, nilai atau kehendaknya melalui institusi ini. Dalam arti positif, ia bisa menjadi media ampuh menamkan rasa nasionalisme, cinta tanah air dan penghayatan pada sejarah bangsa. Namun apa daya, pendidikan kita telah menjadi ajang mencari untung. Penyelenggara pendidikan mencari untung dari biaya pendidikan yang dibayarkan siswa, siswa juga mengadu untung dengan ijazah yang diperolehnya. Pendidikan kemudian berbelok tujuan dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi upaya berburu legalisasi proses belajar.
Padahal apakah benar sertifikat yang dikeluarkan lembaga pendidikan berbanding lurus dengan kualitas apalagi kapabilitas intelektual peserta didik, apalagi jika kelulusan masih ditentukan dengan uji penyeragaman seperti yang berlangsung hingga saat ini? Anak SMP juga tahu UAN tidak memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan. Tapi sudahkah para pengambil kebijakan yang mengemban amanat rakyat memahami hal ini? Lagi – lagi adik – adik kita yang ada di SLTP dan SLTA yang tahu jawabannya.
Keringat dan darah para pejuang pendidikan tak selayaknya dibayar dengan “melacurkan” pendidikan dengan hitungan materi semata. Dalam iklim binis “jasa pendidikan” seperti sekarang ini, wajar saja jika selama kurun 86 tahun sejak Ki Hajar Dewantara merintis Taman Siswa pendidikan kita tidak lagi melahirkan banyak pemikir besar sekelas Ki HD sendiri atau rekan - rekan sezamannya seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka yang juga penggagas pendidikan untuk rakyat.
Indonesia bukanlah negara bangsa semata, tapi juga sebuah cita – cita bagaimana umat manusia hidup bermartabat selaras dengan harkat kemanusiaannya di bumi Nusantara. Jauh hari founding fathers kita sudah mengingatkan bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas menuju Indonesia yang adil makmur sejahtera. Karenanya dalam mengisi kemerdekaan, suara dan keinginan rakyat adalah sabda yang harus didahulukan penyelenggaraannya, bukan malah memperjualbelikan sesuatu yang memang hak rakyat; dalam hal ini pendidikan atau hak untuk menjadi cerdas dan bermartabat.
oleh Siti Azmi Faiqoh
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII UNIJA)
Penggiat Pendidikan Alternatif Luar Sekolah
Alamat: Jl. Pemuda 1 Rt.007/02 No. 1 Rawamangun Jakarta Timur
Mobile:08165405963
Sumber : Nadhirin Blog
Perayaan tentu tak etis hanya berakhir dengan perayaan itu sendiri yang seringkali menyisakan romantisme semu serta pesta pora tanpa kesadaran. Masuk bulan ketiga tahun ini penulis berkesempatan mengunjungi kota Batam. Ketika berkesempatan berkeliling kota, urat geli penulis sempat tergelitik oleh papan iklan sebuah sekolah. Papan iklan itu terang – terangan menuliskan bahwa ada diskon 0% untuk masuk sekolah “A” pada periode tertentu, lewat dari tanggal tersebut berarti tidak ada diskon. Sang model dalam billboard besar itu menurut hemat penulis lebih mirip seorang bankir, pengusaha atau bisnisman dari pada pembawaan seorang pendidik. Dengan stelan jas necis serta senyuman ala salesman, penulis jadi berpikir iklan ini sedang menawarkan pendidikan atau jasa pendidikan?
Jika Ki Hajar Dewantara masih hidup atau guru Umar Bakri itu sungguh nyata adanya, tentu mereka tidak akan tinggal diam menghadapi fenomena bisnis pendidikan ini. Setidaknya bukan keadaan ini yang beliau kehendaki. Khusus Ki Hajar Dewantara –pendidik dan pejuang bangsa – seorang yang menyadari pentingnya investasi sumber daya manusia melalui pendidikan. Indonesia sebagai negara yang mencantumkan cita – cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam pembukaan undang – undang dasar, sudah selayaknya menjadikan pendidikan sebagai prioritas dalam membangun bangsa.
Selama hampir 63 tahun merdeka, bangsa kita justru seolah kehilangan jati diri. Sekolah – sekolah merasa hebat jika bertarif mahal dan berstandar internasional bahkan guru pun harus impor dari negri sebrang. Bahasa Indonesia tidak lagi menjadi bahasa pengantar dan pemersatu di sekolah. Jika begini keadaannya lalu dimana tempat untuk Indonesia: tanah air, bangsa dan bahasa seperti yang dikumandangkan para pemuda pada tahun 1928? Apakah cukup kata Indonesia dalam peta dunia, sedangkan Nusantara tak lagi dipenuhi “jiwa” Indonesia?
Sekolah seperti yang ditulis Louis Althusser merupakan salah satu Idiological State Apparatus dimana negara bisa “memaksakan” idiologi, nilai atau kehendaknya melalui institusi ini. Dalam arti positif, ia bisa menjadi media ampuh menamkan rasa nasionalisme, cinta tanah air dan penghayatan pada sejarah bangsa. Namun apa daya, pendidikan kita telah menjadi ajang mencari untung. Penyelenggara pendidikan mencari untung dari biaya pendidikan yang dibayarkan siswa, siswa juga mengadu untung dengan ijazah yang diperolehnya. Pendidikan kemudian berbelok tujuan dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi upaya berburu legalisasi proses belajar.
Padahal apakah benar sertifikat yang dikeluarkan lembaga pendidikan berbanding lurus dengan kualitas apalagi kapabilitas intelektual peserta didik, apalagi jika kelulusan masih ditentukan dengan uji penyeragaman seperti yang berlangsung hingga saat ini? Anak SMP juga tahu UAN tidak memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan. Tapi sudahkah para pengambil kebijakan yang mengemban amanat rakyat memahami hal ini? Lagi – lagi adik – adik kita yang ada di SLTP dan SLTA yang tahu jawabannya.
Keringat dan darah para pejuang pendidikan tak selayaknya dibayar dengan “melacurkan” pendidikan dengan hitungan materi semata. Dalam iklim binis “jasa pendidikan” seperti sekarang ini, wajar saja jika selama kurun 86 tahun sejak Ki Hajar Dewantara merintis Taman Siswa pendidikan kita tidak lagi melahirkan banyak pemikir besar sekelas Ki HD sendiri atau rekan - rekan sezamannya seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka yang juga penggagas pendidikan untuk rakyat.
Indonesia bukanlah negara bangsa semata, tapi juga sebuah cita – cita bagaimana umat manusia hidup bermartabat selaras dengan harkat kemanusiaannya di bumi Nusantara. Jauh hari founding fathers kita sudah mengingatkan bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas menuju Indonesia yang adil makmur sejahtera. Karenanya dalam mengisi kemerdekaan, suara dan keinginan rakyat adalah sabda yang harus didahulukan penyelenggaraannya, bukan malah memperjualbelikan sesuatu yang memang hak rakyat; dalam hal ini pendidikan atau hak untuk menjadi cerdas dan bermartabat.
oleh Siti Azmi Faiqoh
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII UNIJA)
Penggiat Pendidikan Alternatif Luar Sekolah
Alamat: Jl. Pemuda 1 Rt.007/02 No. 1 Rawamangun Jakarta Timur
Mobile:08165405963
Sumber : Nadhirin Blog
Awas, Bahaya Laten Nyontek!
Kalian tentunya pernah ngelihat sebuah iklan di televisi yang kejadiannya kurang lebih begini:
“Hai bud ini kertasnya” Rudi berbisik sambil melemparkan sebuah kertas lucek yang diremas. Lalu budi menggambilnya dan menuliskan sesuatu dikertas itu dan mengembalikannya pada Rudi. Ternyata di kertas itu Budi menuliskan : “Mau pintar?? Makanya belajar”
Dan Akhirnya Rudi pun ketahuan guru yang mengawasi jalannya ujian, Rudi pun hanya bias cengar-cengir.
Ngepek, nyontek, nurun, dan kawan-kawannya adalah telah kita pahami bersama, bahwa hal itu adalah melakukan kecurangan saat ujian atau ulangan. Caranya macam-macam, mulai dari menulis kunci jawaban di kertas, meja, bangku, HP, atau yang parah adalah menulis di anggota badan, entah itu di daerah kaki, tangan, tau daerah perut lalu mebukaknya saat ujian berlangsung, bekerja sama dengan teman, atau yang lebih hebat adalah membuka buku saat pelaksanaan ulangan (kecuali kalau ulanagnnya bersifat open book). Dan saya yakin, saya pernah melakukannya, baik waktu masih di SD, SMP, SMA, atau sampai kuliah saat ini. Mudah-mudahan kalian tidak.
Ada baiknya kalau saya boleh bertanya kepada kalian semua, kira-kira apa sih yang sedang banyak-banyak terjadi di Negara Indonesia tercinta kita ini dan membudidaya dan mungkin dilestarikan oleh orang Indonesia, baik dari golongan pemerintahan atau sampai tukang tambal ban sekalipun itu??
Kalau kalian menjawab KORUPSI, saya yakin 99% jawaban kalian bener.
Dan ketika saya mengajak kalian untuk membahas dampak dari koropsi, maka kita sudah hapal di luar kepala. Mulai dari kelaparan, kekeringan, putus sekolah, dan sebagainya, mungkin lebih parah lagi kematian. Tapi kalau saya ajak mikir kenapa hati nurani mereka bisa tertutup alias membatu ketika melakukan perbuatan haram yang disebut korupsi tersebut. Padahal sebenarnya dalam diri manusia ada organ tubuh yang bernama hati yang tidak pernah berdusta sekalipun. Saya ambil contoh, ketika ada orang yang meminta-minta dijalan, apa suara hati kita? Pada saat itu suara hati yang timbul dalam hati nurani kita adalah kasihan dan ingin membantunya supaya beban hidupnya tidak seberat itu. Tapi suatu saat ada semacam penutup hati yang menyebabkan hati yang jujur tersebut tidak mampu kita dengar. Penutup itulah yang disebut EGO.
Lalu apa sebabnya perbuatn itu masih saja terjadi di negara tercinta kita, karean belum disadari bahwa korupsi adalah perbuatan yang merugikan. Sesungguhnya itu adalah disebabkan adanya kebiasan buruk yang terus diulang-ulang dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Karena keburukan itu diulang-ulang, akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap baik. Satu contohnya adalah, ketika anak kecil melihat adegan pegangan tangan atau ciuman di televisi, lalu karena perbuatan itu diulang-ulang dan orang tua mereka tidak pernah mengawasinya dan melakukan koreksi atas perbuatan buruk yang dilihat oleh buah hatinya, maka sampai dewasa sekalipun ia akan ,menganggap bahwa ciuman atau pegangan tangan dengan laiki-laki tau perempuan yang bukan muhrimnya adalah bukan perbuatan tercela dan berdosa.
So, sebenarnya ada hubungan apa sih sama diri kita??
Kalau ada pertanyaan, sebenarnya sama tidak sih KORUPSI dengan MENYONTEK?
KORUPSI = MENYONTEK?
Rasanya saya tidak perlu bahas lagi contoh-contoh budaya ketidak jujuran ini, mulai dari menyontek yang dilakukan berjama’ah antara murid dengan murid dan dengan gurunya, guru yang ketahuan mencuri soal UAN, praktek jual beli ijazah, dan kawan-kawannya.
Jadi sudah jelas bahwa penyebab korupsi marak terjadi di Indonesia adalah karena bibit-bibit puntra-putrinya saja telah melakukan tindakan korupsi kecil-kecilan yang disebut nyontek itu sejak dari bangku sekolah. (gimana kalau sudah sukses??).
Saya yakin semua agama tidak ada yang menganjurkan untuk melakukan hal yang positif dengan menghalalkan segala cara. Kesuksesan adalah dimana kita menyadari kekurangan diri kita dan mengoreksinya agar suatu ketika bila kita menghadapi masalah yang sama dapat mengatasinya denga baik. Ingat!!! Bukan menutupi kekurangan kita dengan kebobrokan orang lain. Yakinlah dengan kemampuan diri kita. Kita bisa.. Kita bisa…
“..Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS Ar-Ra’d ayat 11)
“Kesuksesan itu tidak dilihat dari beberapa kali mereka mendapat kegagalan, tapi dilihat dari berapa kali ia bangkit dari kegagalan” (Abu Bakar RA)
“Jujur adalah mata uang yang berlaku dimana-mana” (Pepatah)
“Mau pintar??. Makanya belajar”(Iklan Suplemen)
Sumber : Nadhirin Blog
“Hai bud ini kertasnya” Rudi berbisik sambil melemparkan sebuah kertas lucek yang diremas. Lalu budi menggambilnya dan menuliskan sesuatu dikertas itu dan mengembalikannya pada Rudi. Ternyata di kertas itu Budi menuliskan : “Mau pintar?? Makanya belajar”
Dan Akhirnya Rudi pun ketahuan guru yang mengawasi jalannya ujian, Rudi pun hanya bias cengar-cengir.
Ngepek, nyontek, nurun, dan kawan-kawannya adalah telah kita pahami bersama, bahwa hal itu adalah melakukan kecurangan saat ujian atau ulangan. Caranya macam-macam, mulai dari menulis kunci jawaban di kertas, meja, bangku, HP, atau yang parah adalah menulis di anggota badan, entah itu di daerah kaki, tangan, tau daerah perut lalu mebukaknya saat ujian berlangsung, bekerja sama dengan teman, atau yang lebih hebat adalah membuka buku saat pelaksanaan ulangan (kecuali kalau ulanagnnya bersifat open book). Dan saya yakin, saya pernah melakukannya, baik waktu masih di SD, SMP, SMA, atau sampai kuliah saat ini. Mudah-mudahan kalian tidak.
Ada baiknya kalau saya boleh bertanya kepada kalian semua, kira-kira apa sih yang sedang banyak-banyak terjadi di Negara Indonesia tercinta kita ini dan membudidaya dan mungkin dilestarikan oleh orang Indonesia, baik dari golongan pemerintahan atau sampai tukang tambal ban sekalipun itu??
Kalau kalian menjawab KORUPSI, saya yakin 99% jawaban kalian bener.
Dan ketika saya mengajak kalian untuk membahas dampak dari koropsi, maka kita sudah hapal di luar kepala. Mulai dari kelaparan, kekeringan, putus sekolah, dan sebagainya, mungkin lebih parah lagi kematian. Tapi kalau saya ajak mikir kenapa hati nurani mereka bisa tertutup alias membatu ketika melakukan perbuatan haram yang disebut korupsi tersebut. Padahal sebenarnya dalam diri manusia ada organ tubuh yang bernama hati yang tidak pernah berdusta sekalipun. Saya ambil contoh, ketika ada orang yang meminta-minta dijalan, apa suara hati kita? Pada saat itu suara hati yang timbul dalam hati nurani kita adalah kasihan dan ingin membantunya supaya beban hidupnya tidak seberat itu. Tapi suatu saat ada semacam penutup hati yang menyebabkan hati yang jujur tersebut tidak mampu kita dengar. Penutup itulah yang disebut EGO.
Lalu apa sebabnya perbuatn itu masih saja terjadi di negara tercinta kita, karean belum disadari bahwa korupsi adalah perbuatan yang merugikan. Sesungguhnya itu adalah disebabkan adanya kebiasan buruk yang terus diulang-ulang dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Karena keburukan itu diulang-ulang, akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap baik. Satu contohnya adalah, ketika anak kecil melihat adegan pegangan tangan atau ciuman di televisi, lalu karena perbuatan itu diulang-ulang dan orang tua mereka tidak pernah mengawasinya dan melakukan koreksi atas perbuatan buruk yang dilihat oleh buah hatinya, maka sampai dewasa sekalipun ia akan ,menganggap bahwa ciuman atau pegangan tangan dengan laiki-laki tau perempuan yang bukan muhrimnya adalah bukan perbuatan tercela dan berdosa.
So, sebenarnya ada hubungan apa sih sama diri kita??
Kalau ada pertanyaan, sebenarnya sama tidak sih KORUPSI dengan MENYONTEK?
KORUPSI = MENYONTEK?
Rasanya saya tidak perlu bahas lagi contoh-contoh budaya ketidak jujuran ini, mulai dari menyontek yang dilakukan berjama’ah antara murid dengan murid dan dengan gurunya, guru yang ketahuan mencuri soal UAN, praktek jual beli ijazah, dan kawan-kawannya.
Jadi sudah jelas bahwa penyebab korupsi marak terjadi di Indonesia adalah karena bibit-bibit puntra-putrinya saja telah melakukan tindakan korupsi kecil-kecilan yang disebut nyontek itu sejak dari bangku sekolah. (gimana kalau sudah sukses??).
Saya yakin semua agama tidak ada yang menganjurkan untuk melakukan hal yang positif dengan menghalalkan segala cara. Kesuksesan adalah dimana kita menyadari kekurangan diri kita dan mengoreksinya agar suatu ketika bila kita menghadapi masalah yang sama dapat mengatasinya denga baik. Ingat!!! Bukan menutupi kekurangan kita dengan kebobrokan orang lain. Yakinlah dengan kemampuan diri kita. Kita bisa.. Kita bisa…
“..Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS Ar-Ra’d ayat 11)
“Kesuksesan itu tidak dilihat dari beberapa kali mereka mendapat kegagalan, tapi dilihat dari berapa kali ia bangkit dari kegagalan” (Abu Bakar RA)
“Jujur adalah mata uang yang berlaku dimana-mana” (Pepatah)
“Mau pintar??. Makanya belajar”(Iklan Suplemen)
Sumber : Nadhirin Blog
Ibadah Puasa Melatih Kepekaan Kita
"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
(QS. Al-Baqarah [2]: 262)
(QS. Al-Baqarah [2]: 262)
Suara tangis anak kecil terdengar begitu jelas dari sebuah rumah tua. Berkali-kali anak kecil itu menangis, kemudian diam dan menangis lagi. Ibunya mencoba mendiamkan dengan berkata: “Sabar ya nak, sebentar lagi… sekarang tidur dulu ya!” Kata-kata itu berkali-kali diucapkan sang ibu ketika anaknya terbangun dan menangis. Tiba-tiba dari luar terdengar seseorang mengetuk pintu dan memberi salam. Sang Ibu menjawab salam dan membuka pintu, tampak berdiri di depan pintu seorang laki-laki memikul satu karung gandum yang kemudian diletakkan di depan sang Ibu. Laki-laki itu berkata: “ini ada sedikit gandum, masakkan untuk anakmu! Kemudian laki-laki itu pergi, hilang di tengah kegelapan. Rupanya laki-laki itu sudah lama memperhatikan apa yang terjadi di rumah itu. Dia juga melihat bagaimana sang Ibu tadi memasak beberapa bongkah batu untuk membuat anaknya tenang dan tertidur.
Inilah sosok Umar bin Khaththab r.a., pemimpin yang telah diakui kehebatannya. Umar bin Khaththab dikenal sebagai orang yang cerdas, keras dan tegas. Islam mencapai kemajuan yang pesat di bawah kepemimpinannya, beliau memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Pembentukan Baitul Mal adalah inisiatif dari beliau.
Ramadhan adalah momen yang tepat untuk memupuk potensi kepekaan manusiawi kita, yang mungkin telah terkubur selama sebelas bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun. Pada dasarnya semua manusia mempunyai potensi di untuk bersifat dengan sifat-sifat yang baik (asma’ul husna). Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) (QS. Al-A’raf [7]: 172).
Potensi ketuhanan telah tertanam dalam setiap diri manusia, sekalipun ia adalah seorang atheis. Oleh karena itu di dalam jiwa setiap manusia pada hakikatnya terdapat cahaya dari 99 sifat yang dimiliki oleh Allah SWT. maka pantaslah, ketika para sahabat betanya kepada Aisyah, bagaimanakah akhlak Rasulullah, Aisyah menjawab, “akhlak beliau adalah Alqur’an”.
Ar-Rahman dan ar-Rahim (Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang) adalah sifat Allah. Kedua sifat ini juga diberikan kepada manusia, walaupun sering dilupakan oleh manusia sendiri. Sifat-sifat yang lain seperti ar-Raziq (dermawan) dan al-‘Adil (adil) juga dimiliki oleh manusia, tetapi mengapa sifat-sifat itu tidak muncul?
Di dalam jiwa manusia terdapat belenggu-belenggu yang menyebabkan sifat-sifat baik tersebut (suara hati) sulit dikeluarkan. Di antara yang menjadi belenggu tersebut adalah apa yang dibaca, prasangka negatif, prinsip hidup, pengalaman, kepentingan, sudut pandang dan pembanding (Ary Ginanjar Agustiar, 2005). Untuk mengeluarkan sifat-sifat baik tersebut, semua yang menjadi belenggu tersebut harus dihilangkan.
Ketika kita berhenti di lampu merah, sering kita melihat anak-anak kecil yang mengamen dan berlarian menghampiri kita, mengharap belas kasihan kita sambil menyanyikan sebuah lagu. Apabila kita berprasangka positif, kita akan mudah saja memberikan anak itu sejumlah uang. Tetapi apabila kita berprasangka negatif, “untuk apa kita berikan, mungkin hanya akan digunakan untuk main-main, hura-hura dan sebagainya”. Lalu ia membenarkan prasangka-prasangka negatif tersebut, maka mereka pun tidak akan memberi. Ia tidak menyadari bahwa itulah belenggu yang merupakan penyakit dalam jiwanya. Akibatnya sifat dermawan yang dimiliki tertutupi. Begitu juga dengan faktor yang lain, tanpa disadari ia akan menjadi penyakit hati. "Kemudian hati mereka menjadi keras bagaikan batu, bahkan lebih keras". (QS. Al-Baqarah [2]: 74).
Berpuasa bukan sekedar menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri di sing hari, tetapi lebih dari itu, puasa harus mampu melatih kepekaan kita terhadap kesulitan orang lain. Ketika kita terbiasa mendapatkan kenikmatan dan kesenangan, biasanya kita akan mampu merasakan kesulitan orang lain. Di Bulan Ramadhan kita sanggup berpuasa, menahan diri dari makan, dan minum yang mungkin kita tidak sanggup menahannya di bulan-bulan yang lain. Mengapa kita mampu melakukannya? itu disebabkan karena kita mempunyai potensi untuk itu. Oleh karena itu di bulan Ramadhan ini kita harus berusaha dengan segenap tenaga untuk mengeluarkan semua potensi yang ada dalam diri kita masing-masing, bebaskan jiwa dari belenggu-belenggu yang negatif.
Lapar dapat melatih kita untuk merasakan bagaimana pedihnya para fakir miskin yang kelaparan, bahkan kadang-kadang berhari-hari mereka tidak makan. Selaian berpuasa kita juga harus membiasakan diri untuk hidup bersama orang-orang yang sedang dalam kesulitan atau sedang ditimpa musibah, bergaul dengan orang miskin, sehingga kita juga merasakan bagaimana sulitnya hidup mereka, dengan demikian hidup kita akan lebih mempunyai makna, bukan sekadar untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang lain.
Oleh karena itu, peluang yang diberikan oleh Allah SWT di bulan ini harus dapat kita gunakan sebaik-baiknya. Karena tidak semua orang diberi kesempatan dua kali. Mungkin kita termasuk orang-orang yang beruntung diberi kesempatan untuk kembali memperbaiki bekal kita kembali ke hadhirat-Nya. Amalan-amalan ritual peribadatan harus kita iringi dengan amalan sosial, terutama bersedekah. Ia, selain merupakan amalan yang sangat disukai oleh Rasulullah SAW di bulan Ramadhan, juga merupakan suatu bentuk kepedulian kita sebagai umat Islam terhadap sesama. Rasul SAW bersabda sebaik-baik sedekah adalah sedekah pada bulan Ramadhan (HR. Al-Baihaqi, Al-Khatib dan Turmudzi). Pada dasarnya Islam mengajarkan bagaimana kita selalu peka terhadap penderitaan orang lain melalui amalan sedekah.
Mulailah memberi sedikit makanan berbuka untuk tetanggga, memberi makan anak yatim, membantu fakir miskin, dan membantu siapapun tanpa pandang bulu dengan ikhlas, ringan, dan tanpa ada sedikitpun rasa keberatan. Insya Allah, dengan begitu, hati kita akan selalu terbuka dan peka terhadap penderitaan orang lain, siapapun dia. Bukan hanya pada bulan ini, akan tetapi juga pada sebelas bulan lainnya. Semoga bulan Ramadhan ini menjadi bulan berkah dan maghfirah serta membawa hidayah bagi kita semua. Amin.
Sumber : Nadhirin Blog
Langganan:
Postingan (Atom)
Die Asal Upload. Design: Luka Cvrk Sponsored by B4Contact Released under a Creative Commons Licence
Internet'li tarafindan Goolly bloggera uyarlamistir..